MILLENIALS NASOL TAK LAWAN PROPOSAL TANPA LAPORAN #PemudaMendesa – Widia Damayanti for Anti Corruption Youth Camp 2017
MILLENIALS NASOL TAK LAWAN PROPOSAL TANPA LAPORAN #PemudaMendesa – Widia Damayanti for Anti Corruption Youth Camp 2017
“Kalau ada ya Alhamdulillah neng, kalau pun gak ada ya Alhamdulillah juga ajalah hehe.. mungkin itu jalan saya untuk terus ikhlas” dengan iringan tawa si gadis desa yang kesehariannya mengajari anak-anak tentang agama itu sedikit asem-asem manis ketika mendapatkan pertanyaan mengenai upahnya mengajari anak-anak desa di madrasah diniyah yang bertempat di Desa Nasol. Gadis itu rutin berangkat setiap sore baik hujan maupun tidak demi membagikan pengetahuan agamanya untuk para anak-anak desa disana.
Senada dengan gadis tersebut, wanita separuh baya pun berkata “Ya.. Bersyukur saja.” Hal itu pun tak lupa diamini oleh wanita paruh baya lainnya yang sama-sama berkegiatan mengajari anak-anak mengaji. Memang keteguhan iman menguatkan benih-benih semangat yang tertanam didalam hati mereka, jelas sehingga perasaan ikhlas tak sempat absen.
Baik memang istilah tanpa pamrih, tapi jelas kita harus mampu membuka mata bahwa dibalik tanpa pamrih yang berbumbu “keterpaksaan” ada penyedap rasa yang entah lupa atau dilupakan untuk ditaburkan oleh pemiliknya.
Lembaga swasta seperti madrasah diniyah ini memang sedikit kurang mendapat perhatian terlebih dari lembaga diatasnya dalam bidang pendanaan. Belum dipahaminya proses penganggaran, pengelolaan dan pelaporan terhadap dana yang telah didapat membuat suatu kejanggalan-kejanggalan yang seharusnya mampu dibaca oleh masyarakat.
Setiap dua atau tiga tahun sekali ratusan juta rupiah masuk ke rekening untuk memenuhi berbagai macam kebutuhan madrasah. Besaran dana bervariasi sesuai proposal yang telah diajukan sebelumnya oleh setiap lembaga yang membutuhkan dana hibah.
Pun di madrasah tempat si gadis desa dan wanita-wanita paruh baya itu mengajar, pengalokasian dirasa kurang jelas, pengelolaan tak pernah terdengar ke satu saja telinga masyarakat dan pelaporannya pun entah siapa yang membuatnya.
Saat ini diketahui sedang ada pembangunan infrastruktur untuk menunjang kegiatan belajar-mengajar di madrasah ini. Sebagian warga meresponnya dengan perasaan bangga karena terus meningkatnya kualitas infrastruktur. Namun disisi lain sedikit disayangkan, karena para pengajar diniyah kurang diapresiasi dengan baik.
Ditambah lagi jelasnya fakta bahwa bangunan sebelumnya pun masih layak pakai dan pada praktiknya kurang dimanfaatkan dengan baik. beberapa spot malah dijadikan tempat pribadi si ketua madrasah tersebut. Entah apa tujuannya melakukan kembali pembangunan, toh yang sudah ada pun tak dimanfaatkan.
Keambiguan pun merebak dengan pengelolaan dana madrasah tersebut. Sasaran utamanya tentu ketua madrasah, karena pada kenyataannya tidak ada pihak lain yang dilibatkan selain orang-orang terdekatnya sendiri. Selain itu pengalokasian dananya pun seharusnya dapat diketahui oleh publik, namun sekali lagi hal itu tidak terjadi. Transparansi kembali di terlantarkan sesuka hati tanpa tanggung jawab yang jelas.
Madrasah ini terletak disebuah desa yang dikenal dengan nama Desa Nasol, letaknya di kaki Gunung Syawal dan jika dilihat dari aplikasi google eart, anda hanya akan melihat tumpukan warna hijau tua yang sedikit bergumpal-gumpal. Jalannya sudah di hotmix beberapa bulan lalu dan warganya tenang-tenang saja.
Sejarah desa ini memang tidak jelas, entah apa yang melatar belakangi lahirnya desa ini. Para orang tua merasa dirinya tak perlu menceritakannya atau bahkan sama-sama tak mengetahuinya. Satu yang menarik adalah melimpahnya kaula muda baik yang sedang menempuh pendidikan, bekerja maupun yang berdiam diri saja dikamarnya ternyata belum bersatu dalam satu nama yang disebut karang taruna desa.
Masalah sosial yang terjadi di madrasah diniyah belum menjadi sorotan utama bagi karang taruna ini, boleh dibilang masih sangat rendahnya kepedulian yang secara menyeluruh dari pemuda disana.
Kebejatan struktural dengan judul karang taruna pun benar-benar tak ada berguna bagi satu saja perubahan-perubahan kecil yang dibarengi semangat membangun desa, sebagai tumpah darah dan tentu kebanggaan. Latar belakang budaya dijadikan seperti alasan tersulit yang tak kunjung dipertemukan dengan solusi segar. Kegiatan-kegiatan yang tak bersifat transaksional kurang diminati oleh sebagian besar dari mereka. Pun dukungan dari pemerintahan desa disana yang masih terbilang rendah.
Bahkan kebencian mudah tersulut hanya karena hal sepele seperti perebutan wanita dan saling hina. Akhirnya bukan Pemuda Desa Nasol yang terangkat tapi Pemuda yang terskat berdasarkan dusun (wilayah dibawah desa). Kesadaran menjadi hal yang penting bagi para pemuda, dimana ada berbagai hal yang menanti diselesaikan oleh tangan-tangan muda.
Pemuda dengan potensinya yang melimpah, semangatnya yang selalu tercurah namun memang terkadang gegabah, keterlibatannya masih sangat diperlukan untuk memberi angin segar dalam memperbaiki sistem sosial di Desa Nasol ini.
#Pemuda Mendesa
#Integrity
#ACYC2017
Senada dengan gadis tersebut, wanita separuh baya pun berkata “Ya.. Bersyukur saja.” Hal itu pun tak lupa diamini oleh wanita paruh baya lainnya yang sama-sama berkegiatan mengajari anak-anak mengaji. Memang keteguhan iman menguatkan benih-benih semangat yang tertanam didalam hati mereka, jelas sehingga perasaan ikhlas tak sempat absen.
Baik memang istilah tanpa pamrih, tapi jelas kita harus mampu membuka mata bahwa dibalik tanpa pamrih yang berbumbu “keterpaksaan” ada penyedap rasa yang entah lupa atau dilupakan untuk ditaburkan oleh pemiliknya.
Lembaga swasta seperti madrasah diniyah ini memang sedikit kurang mendapat perhatian terlebih dari lembaga diatasnya dalam bidang pendanaan. Belum dipahaminya proses penganggaran, pengelolaan dan pelaporan terhadap dana yang telah didapat membuat suatu kejanggalan-kejanggalan yang seharusnya mampu dibaca oleh masyarakat.
Setiap dua atau tiga tahun sekali ratusan juta rupiah masuk ke rekening untuk memenuhi berbagai macam kebutuhan madrasah. Besaran dana bervariasi sesuai proposal yang telah diajukan sebelumnya oleh setiap lembaga yang membutuhkan dana hibah.
Pun di madrasah tempat si gadis desa dan wanita-wanita paruh baya itu mengajar, pengalokasian dirasa kurang jelas, pengelolaan tak pernah terdengar ke satu saja telinga masyarakat dan pelaporannya pun entah siapa yang membuatnya.
Saat ini diketahui sedang ada pembangunan infrastruktur untuk menunjang kegiatan belajar-mengajar di madrasah ini. Sebagian warga meresponnya dengan perasaan bangga karena terus meningkatnya kualitas infrastruktur. Namun disisi lain sedikit disayangkan, karena para pengajar diniyah kurang diapresiasi dengan baik.
Ditambah lagi jelasnya fakta bahwa bangunan sebelumnya pun masih layak pakai dan pada praktiknya kurang dimanfaatkan dengan baik. beberapa spot malah dijadikan tempat pribadi si ketua madrasah tersebut. Entah apa tujuannya melakukan kembali pembangunan, toh yang sudah ada pun tak dimanfaatkan.
Keambiguan pun merebak dengan pengelolaan dana madrasah tersebut. Sasaran utamanya tentu ketua madrasah, karena pada kenyataannya tidak ada pihak lain yang dilibatkan selain orang-orang terdekatnya sendiri. Selain itu pengalokasian dananya pun seharusnya dapat diketahui oleh publik, namun sekali lagi hal itu tidak terjadi. Transparansi kembali di terlantarkan sesuka hati tanpa tanggung jawab yang jelas.
Madrasah ini terletak disebuah desa yang dikenal dengan nama Desa Nasol, letaknya di kaki Gunung Syawal dan jika dilihat dari aplikasi google eart, anda hanya akan melihat tumpukan warna hijau tua yang sedikit bergumpal-gumpal. Jalannya sudah di hotmix beberapa bulan lalu dan warganya tenang-tenang saja.
Sejarah desa ini memang tidak jelas, entah apa yang melatar belakangi lahirnya desa ini. Para orang tua merasa dirinya tak perlu menceritakannya atau bahkan sama-sama tak mengetahuinya. Satu yang menarik adalah melimpahnya kaula muda baik yang sedang menempuh pendidikan, bekerja maupun yang berdiam diri saja dikamarnya ternyata belum bersatu dalam satu nama yang disebut karang taruna desa.
Masalah sosial yang terjadi di madrasah diniyah belum menjadi sorotan utama bagi karang taruna ini, boleh dibilang masih sangat rendahnya kepedulian yang secara menyeluruh dari pemuda disana.
Kebejatan struktural dengan judul karang taruna pun benar-benar tak ada berguna bagi satu saja perubahan-perubahan kecil yang dibarengi semangat membangun desa, sebagai tumpah darah dan tentu kebanggaan. Latar belakang budaya dijadikan seperti alasan tersulit yang tak kunjung dipertemukan dengan solusi segar. Kegiatan-kegiatan yang tak bersifat transaksional kurang diminati oleh sebagian besar dari mereka. Pun dukungan dari pemerintahan desa disana yang masih terbilang rendah.
Bahkan kebencian mudah tersulut hanya karena hal sepele seperti perebutan wanita dan saling hina. Akhirnya bukan Pemuda Desa Nasol yang terangkat tapi Pemuda yang terskat berdasarkan dusun (wilayah dibawah desa). Kesadaran menjadi hal yang penting bagi para pemuda, dimana ada berbagai hal yang menanti diselesaikan oleh tangan-tangan muda.
Pemuda dengan potensinya yang melimpah, semangatnya yang selalu tercurah namun memang terkadang gegabah, keterlibatannya masih sangat diperlukan untuk memberi angin segar dalam memperbaiki sistem sosial di Desa Nasol ini.
#Pemuda Mendesa
#Integrity
#ACYC2017
Komentar
Posting Komentar