Saya sangat menyadari bahwa hubungan yang sedang saya jalani hari ini bukanlah hubungan yang baik-baik saja. Bahkan diberbagai sisi terkesan lebih buruk daripada hubungan saya sebelumnya dengan mantan saya.
Hubungan ini pun berakar dari sebuah pertentangan prinsip yang sangat mendasar, saya yang mempercayai bahwa hubungan sosial tanpa memandang gender lazim terjadi dan dapat berjalan lancar tanpa adanya perasaan semu yang akan bermuara pada kondisi baper. Sedangkan si dia sangat keukeuh bahwa hubungan sosial sangat terkait dengan gender, dimana hubungan antara perempuan dan laki-laki yang dijalin secara baik pasti akan bermuara pada perasaan baper diantara keduanya.
Prinsip dia yang saya anggap sangat close minded ini nyatanya dibutakan dengan paras tampannya yang betah saya lihat setiap hari. Hingga akhirnya memutuskan untuk bertemu secara langsung alias kopdar. Diawal pertemuan ini, pembicaraan kami cukup lancar. Saya memang tak pandai bercerita, namun pandai memancing pembicaraan. Disisi lain dia sepertinya sosok yang tidak berkeberatan untuk menceritakan lebih panjang tentang kisah hidupnya.
Pertemuan kami tidak sampai disitu, sebab sebuah kejadian absurd bin aneh justru membuat kami mantap untuk menjalin hubungan lebih jauh. Dengan kesadaran bahwa perbedaan prinsip diantara kami jelas adanya, saya tetap hayu dan siap maju jalan bersama dia.
Saya selalu membayangkan kondisi hubungan kami kedepannya, bak sebuah rumah yang dibangun dengan pondasi saya berkali-kali merasa was-was akan bentuk rumah seperti apa yang akan kami cipatakan dengan pondasi tidak kuat ini.
Setiap hati sejak kami memutuskan bersama, pertengkaran diantara kami selalu terjadi. Benturan prinsip kami sangatlah banyak, pandangan kami berbeda arah disetiap kondisi. Kemampuan si dia dalam mengontrol emosinya yang selalu membuat saya berkali-kali mengalah, tak melawan dan lebih baik mendengarkan ini selalu saja membuat saya berderai air mata.
Perkataan dari seorang vlogger yang aduh saya lupa nama beliau cukup mempengaruhi saya, yaitu “Sebaiknya kamu segera pergi ketika menyadari ada suatu hal yang tidak kamu sukai dari pacar kamu. Jangan kamu paksakan sampai ke pernikahan sebab akhirnya akan selalu sama yaitu rasa sakit yang mendorong kamu untuk memutuskan perpisahan sebagai jalan terakhir.”
Perkataan tersebut saya cerna baik-baik, dan sampai pada pertanyaan “Memangnya ada manusia sempurna?” lalu pada kesimpulan, “Hubungan itu dijalin bukan dengan orang yang sempurna dimata kita, tapi dijalin dengan kemauan kita mencapai keseimbangan antara penerimaan dan perubahan yang ikhlas dan sadar dilakukan oleh kedua pihak.”
Sejak saya mencapai kesimpulan tersebut, perdebatan yang masih selalu terjadi saya nikmati sebab menurut saya ada baiknya selalu jujur akan perasaan dan berani berdebat. Terkadang, kita harus menegaskan “maunya gimana” di depan ketimbang dipendam dan kelak jadi dendam, jadi penyakit dan bikin hati lebam.
Kebahagian hubungan justru saya rasakan dari terbukanya kami dalam menanggapi sebuah hal, sehinggal sedikit kebohongan diantara kami justru tak nyaman untuk lama-lama disembunyikan. Sedangkan ke khawatiran saya akan hubungan ini adalah hal yang standar, yaitu pengkhianatan dan perselingkuhan. Kekhawatiran inilah yang seringkali menjadi sumber ke-toxic-an hubungan kami.
Ya, akhirnya saya menyadari. Bahwa hubungan kami sangat memenuhi kriteria toxic.
Lalu bagaimana tindak lanjut saya setelah kesimpulan yang disadari dengan penuh ini?
Tetap lanjut dan bersiap untuk kearah hubungan yang lebih serius.
Kenapa demikian? Sebab kami sama-sama sadar kondisi hubungan kami, sehingga setiap hari komunikasi dilakukan untuk sama-sama ikhlas berubah, dan punya niat besar untuk memperbaiki situasi.
Rasa takut dikhianati dan akhirnya berpisah pun kini mulai memudar dengan seiringnya waktu berjalan serta banyaknya pelajaran-pelajaran dari lingkungan yang kami tempati.
Banyak perpisahan yang terjadi dalam sebuah hubungan dengan musabab yang beragam, tidak saklek selalu karena adanya orang ketiga.
Perceraian seorang ustadz kondang, yang ceramahnya didengar ribuan orang bahkan hampir oleh seluruh umat islam diseluruh nusantara. Pernikahannya hanya bertahan 7 tahun dan saya yakin alasan mereka bersama penuh dengan kebaikan dan sesuai saraiat ajaran Islam. Tidak tahu alasan detailnya apa, namun menurut kuasa hukum sang ustadz perceraian mereka disebabkan oleh “sudah tidak adanya kecocokan lagi diantara mereka”. Ketidak cocokan tersebut terangkum dalam 4 poin utama, yaitu:
- Istri jarang mau menerima nasehat baik dari suami.
- Istri tidak patuh pada suami.
- Istri sering berprasangka tidak sehat terhadap suami.
- Istri sudah tidak berkomunikasi dengan baik dengan suami.
Lain lagi perceraian seorang pengusaha sukses yang telah membina rumah tangga selama 27 tahun dan telah melalui lika-liku kehidupan bersama, akhirnya kembali memutuskan bercerai dengan yang tidak disebutkan secara detail melalui media.
Itu semua hanya sedikit contoh perpisahan-perpisahan yang terjadi di tempat dan waktu yang dapat saya saksikan.
Jadi pada akhirnya selama saya masih bisa mengatasi perbedaan-perbedaan dan konflik dalam hubungan, kenapa tidak untuk terus berjalan dan bergandengan tangan menuju akhir bahagia dari sekenario yang telah Tuhan gariskan sejak ditiupkannya ruh kepada saya dan pasangan.
Karena setiap hubungan mempunyai fase penderitaannya masing-masing, tidak perlu menyalahkan keadaan semuanya tergantung kepada seberapa mau kita terus bersama-sama.
Komentar
Posting Komentar